Laporan Akhir Obat Sistem Syaraf Otonom


I.         TUJUAN

1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat system syaraf
Otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik
pada neoroefektor parasimpatikus.

II.        PRINSIP
1.      Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.
2.      Persen inhibisi
% Inhibisi =  diameter kontrol_ - diameter uji x 100 %
                              diameter kontrol
III.      TEORI  DASAR
Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik utam SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Gambar 1 – Diagram skematik sistem persarafan di manusia. SSO akan terbagi menjadi dua divisi, yakni simpatis dan parasimpatis

 



Perjalanan SSO dimulai dari persarafan sistem saraf pusat (selanjutnya disebut SSP). Neuron orde pertama berada di SSP, baik di sisi lateral medulla spinalis maupun di batang otak. Akson neuron orde pertama ini disebut dengan serabut preganglion (preganglionic fiber). Serabut ini bersinaps dengan badan sel neuron orde kedua yang terletak di dalam ganglion. Serabut pascaganglion menangkap sinyal dari serabut preganglion melalui neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut preganglion. Seperti yang telah diketahui, ganglion merupakan kumpulan badan sel yang terletak di luar SSP. Akson neuron orde kedua, yang disebut dengan serabut pascaganglion (postganglionic fiber) muncul dari ganglion menuju organ yang akan diinervasi. Organ efektor menerima impuls melalui pelepasan neurotransmiter oleh serabut pascaganglion. Kecuali untuk medulla adrenal, baik sistem saraf simpatis dan parasimpatis mengikuti pola seperti yang telah dijelaskan di atas (Regar, 2010).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom  adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi : 
a.         Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut :         ·     
·         Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain. 
·         Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain. 
b.        Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
·           Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
·           Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002).
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki  efek yang ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis :
a.         Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat
b.         Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka
c.         Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
d.        Perangsang Sistem saluran pernapasan
e.         Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
f.          Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis
g.         Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah, 2011).

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SPdirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekananintraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:

§  Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Aprilia, 2010).

§  Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin
(Mycek, 2001).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek (Aprilia, 2010).
Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).
Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik. Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrup reseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3)  (Yeni, 2011).

IV.       ALAT DAN BAHAN

Hewan percobaan       : Mencit jantan dengan BB 20 - 25 g dipuasakan sebelum percobaan (6 jam).
Bahan Obat                 : - Urethan (1,8 g/kg BB)
   - Atropin 0,04 % (1 mg/kg BB) p.o
   - Pilokarpin 0,02 % (2 mg/kg BB) s. c
   - Gom arab 3 %

Alat: Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakkan di    atas papan lain dengan ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10 dengan papan kedua, sehingga membentuk segitiga.Papan bagian atas diberi alas (4 cm).Setelah itu kertas saring ditaburi bubuk biru metilen sebagai lapisan tipis.

V.        PROSEDUR

Dipersiapkan alat untuk percobaan, dibuat larutan gom dan obat.Hewan percobaan dipilih secara acak, diamati kesehatan, kemudian masing-masing hewan ditimbang dan diberi tanda pengenalnya. Pada waktu T = 0, satu kelompok diberi atropin p.o dan segera sesudah pemberian uretan i.p kelompok kontrol hanya diberi larutan gom dengan cara yang sama. Pada waktu T  = 15 menit, kelompok lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kg BB (s.c) segera sesudah disuntikkan uretan. Pada waktu T = 45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara sub kutan. Kemudian masing-masing mencit diletakkan di atas kertas saring pada alat (1 mencit per kotak).Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas.Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas. Diamati besarnya noda yang terbentuk di atas kertas di setiap kotak dan tandai batas noda (pakai spidol).Diameter noda diukur dan dihitung presentase inhibisi yang diberikan oleh kelompok atropin.Semua hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.

VI.       DATA PENGAMATAN
Berat Mencit
Mencit I                     : 20,2 gram
Mencit II                    : 20,5 gram
Mencit III                  : 15,5 gram
Kelompok
T = 0 menit
T = 15 menit
T = 45 menit
I
Uretan (i.p)
Atropin (p.o)
-
Pilokarpin (s.c)
II
Uretan (i.p)
Atropin (s.c)
Pilokarpin (s.c)
III
Uretan (i.p)
-
Pilokarpin (s.c)

Tabel Perbocaan
No
Kelompok Uji
0-5
5-10
10-15
15-20
20-25

1
2
3
4
Kelompok Uji I


-
-
-
-

-
-
-
-

-
-
-
-

-
-
-
1 cm

-
-
1.5 cm
1 cm

Σ
X
0
0
0
0
0
0
1 cm
0,2 cm
2,5 cm
0,625

1
2
3
4
Kelompok Uji 2

-
-
-
-

-
-
-
0,4 cm

-
0.9 cm
0,5 cm
0,7 cm

0,9 cm
1 cm
1,3 cm
1,4 cm

1 cm
1,7
1,2 cm
1.4 cm

Σ
x
0
0
0,4 cm
0,1 cm
2,1 cm
0,52 cm
4,6 cm
1,15 cm
5,3 cm
1,35 cm

1
2
3
4
Kelompok kontrol

-
-
-
-

0,5 cm
-
-
1,9 cm

1,5 cm
-
1,5 cm
2,5 cm

0,5 cm
-
3,5 cm
2,1 cm

0,5 cm
1,1 cm
3,7 cm
2,1 cm

Σ
x
0
0
1,4 cm
0,6 cm
4,5 cm
1,32 cm
6,1 cm
1,52 cm
7,4 cm
1,85 cm

Volume Obat Uretan, Atropin, dan Pilokarpin
Volume pemberian obat secara Oral
Rumus Umum:
V= gram mencit  x 0,5 ml
20
Mencit I =      20,2   x 0,5 ml = 0,555 ml
                         20
Mencit II =      20,5  x 0,5 ml = 0,5125 ml
                         20
Mencit III =      15,5   x 0,5 ml = 0,3875 ml
                         20
Volume Obat Untuk Pemberian Subkutan
Rumus Umum:                        V= gram mencit  x 0,25 ml
20
Mencit I =      20,2   x 0,25 ml = 0,2775 ml
                         20
Mencit II =      20,5  x 0,25 ml =  0,25625 ml
                         20
Mencit III =      15,5   x 0,25 ml = 0,19575 ml
                         20
VII.     PERHITUNGAN DAN GRAFIK
a.       % Inhibisi pemberian atropin secara oral
% Inhibisi =   Jumlah rata rata saliva kontrol – jumlah rata rata saliva uji     x100%
                                    Jumlah rata rata saliva kontrol

                 =     5,3 – 0,875        x 100%
                                5,3
                 =  83,49 %
b.      % Inhibisi pemberian atropin secara subkutan
% Inhibisi =   Jumlah rata rata saliva kontrol – jumlah rata rata saliva uji     x100%
                                    Jumlah rata rata saliva kontrol

                 =     5,3 – 3,1        x 100%
                                5,3
                 =  41,51 %

 














Perhitungan Anava
Jumlah Rata Rata Diameter Saliva Mencit
Kelompok Uji (A)
Jumlah Rata Rata Diameter Saliva Mencit dari 0’ samapai 25’ (B)
Jumlah
0’-5’
5’-10’
10’-15’
15’-20’
20’-25’
Atropin P.O
0
0
0
1
2,5
3,5
Atropin S.C
0
0,4
2,1
4,6
5,3
12,4
Kelompok Uji
0
1,4
4,5
6,1
7,4
19,4
Jumlah
0
1,8
6,6
11,7
15,2
35,3

1.      Nilai Faktor Koreksi
FK= Y..2 =  35,32     = 83,072
              N           3x5
2. Derajat Bebas
dbA = a-1 = 2
dbB = b-1 =4
dbAB = (a-1)(b-1) = 2x4=8
dbG = ab (r-1) = 3x5 (2) = 30
dbT = abr-1= (3x5x3)-1 = 45-1 = 44
3. Jumlah Kuadran Total
JKT= Σyy2 – FK = (52+102+152+202+252) – 83,072 = 1291,928
 

                                  3,52+12,42+19,42        - 83,072 = 542,37-83,072 = 459,298

                                                         3 x 5
                            02+…………….15,22  - 83,072 = 414,73 -83,072 = 331,658
                                                        3x3
                                                                                              
                                        175,25       -   83,072 =  -24,655
                                                =         3
Jumlah Kuadrat Galat
JKG= JKT-JKA-JKB-JK(AB)= 1291,928-459,298-331,568+24,655 = 525,725

4. Nilai Kuadrat Tengah
                                   459,298     =229,649
                                             2
                                     331,568       = 82,892          
                                          4
                                                -24,655 = -3,08
                                                      8
                                   525,725      = 17,52
                                      30                 
6.      Nilai F-hitung
                            229,649       = 13,10
                               17,52

                         82,892        = 4,87
   17,52
                                -3,08        = -0,17
                                 17,52

Nilai F-tabel

Tabel analisis ragam beserta nilai F-tabelnya
Sumber ragam
Db
JK
KT
F-hit
F.05
Perlakuan (A)
2
459,298
1721,79
13,10
19.405
Waktu (B)
4
331,658
82,892
4,876
6,36
AxB
8
-24,655
-3,08
-0,17

Galat
30
525,725
17,52


Total
44






·         Pengaruh faktor A
Ho = Tidak ada perbedaan respon mencit di antara pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) yang dicobakan
H1 = Ada perbedaan respon mencit di antara pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) yang dicobakan

·         Pengaruh faktor B
Ho = Tidak ada perbedaan respon mencit di antara perbedaan waktu yang dicobakan
H1 = Ada perbedaan respon mencit di antara perbedaan waktu yang dicobakan

·         Pengaruh interaksi AxB
Ho = Tidak ada pengaruh interaksi pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu terhadap respon mencit yang diamati
H1 = Ada pengaruh interaksi pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu terhadap respon mencit yang diamati
Kesimpulan :
Apabila maka Ho ditolak.




·         Pemberian perlakuan (A)
Karena maka Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan respon mencit di antara pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) pada taraf kepercayaan 95%.

·         Perbedaan waktu (B)
Karena maka Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan respon mencit di antara perbedaan waktu yang dicobakan pada taraf kepercayaan 95%.

·         Pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu (AxB)
Karena |Fhitung| ˂ |Ftabel| maka Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa pengaruh interaksi pemberian perlakuan (kontrol, uji, dan pembanding) dan perbedaan waktu terhadap respon mencit yang diamati adalah sama pada taraf kepercayaan 95%.

VIII.   PEMBAHASAN
Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem syaraf otonom pada mencit. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf tak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar keringat, otot polos sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf otonom.
Percobaan  ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakandalampercobaan.Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan.
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, yang nantinya akan diberikan perlakuan yang berbeda. Masing-masing kelompok diberikan uretan dengan dosis yang sesuai, secara intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan yang diberikan dalam bentuk larutan. Pemberian dilakukan dengan cara memegang atau menjepit tengkuk diantara jari telunjuk dan jari tengah, dengan membuat posisi abdomen yang lebih tinggi dari kepala. Jarum disuntik dengan membentuk sudut 10. Penyuntikan harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai hati. Tujuan pemberian uretan adalah untuk membuat mencit tertidur atau  menurunkan aktivitasnya. Selain itu, pembiusan mencit dilakukan karena dalam keadaan tertidur biasanya akan terjadi salivasi dimana salivasi ini akan digunakan sebagai parameter dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom.
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Setelah masing-masing kelompok diberi uretan, mencit pada kelompok 1 diberikan atropin secara peroral. Atropin yang diberikan dalam bentuk larutan. Perlakuan pada mencit dilakukan dengan menggunakan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau yang biasa disebut dengan sonde. Alat ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esotagus.
Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit pada kelompok 2 juga dilakukan pemberian atropin namun diberikan secara subkutan dengan menggunakan jarum suntik. Penyuntikan secara subkutan ini dilakukan di bawah kulit tengkuk. Sedangkan mencit pada kelompok 3 tidak diberikan atropin karena digunakan sebagai kelompok kontrol.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
Selain atropin juga digunakan uretan.Uretan adalah senyawa etil ester dari asam karbaminik, menimbulkan efek anaestesi dengan durasi yang panjang seperti choralose. Biasanya senyawa ini digunakan untuk percobaan fisiologi dan farmakologi. Uretan sering dikombinasikan dengan choralose untuk menurunkan aktivitas muskular. Uretan memiliki efek yang kecil pada respirasi dan tekanan darah arteri. Uretan tidak digunakan sebagai anaestesi dalam kedokteran hewan, tetapi dianjurkan dalam penggunaannya untuk tujuan eksperimen (percobaan). Dalam praktikum ini, uretan digunakan pada tikus dalam tahap vegetatif (vegetative stage).

Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit diberikan pilokarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang ditimbulkan cepat. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar mencit tersebut dapat mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh mencit menjadi lebih banyak karena  pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar saliva.
Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-masing mencit diletakan pada sebuah papan berukuran 40 x 30 cm yang telah dilapisi oleh kertas saring yang telah ditaburi metilen blue pada bagian bawah, sehingga air liur yang dikeluarkan mencit akan merubah warna kertas saring menjadi berwarna biru. Penambahan metilen biru ini bertujuan agar mempermudah pengukuran diameter saliva yang dikeluarkan oleh mencit karena adanya perubahan warna yang terjadi.  Masing-masing mencit ditempatkan pada satu kotak dan setiap 5 menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya dan hal tersebut terus diulangi selama 25 menit hingga mencapai kotak yang berada paling atas. Kemudian diameter salivasi yang terjadi diukur dengan menggunakan penggaris dan dicatat untuk dilakukan pengolahan data selanjutnya.
Pada mencit ke 1, diberikan uretan secara intraperitoneal dan atropine pada menit ke 0 secara peroral dan pilokarpin pada menit ke 45 secara subkutan. Setelah diamati selama 25 menit, kertas saring tidak berubah warna menjadi biru yang menunjukan bahwa hewan percobaan tidak mengeluarkan saliva. Hal ini tidak sesuai dengan literatur, seharusnya mencit kelompok ini lebih banyak mengeluarkan  saliva dibandingkan mencit kelompok 2. Hal itu disebabkan oleh pengaruh pemberian atropin secara peroral membutuhkan waktu yang cukup lama karena obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme. Sementara itu dengan pemberian pilokarpin secara subkutan akan cepat menimbulkan efek karena subkutan langsung masuk ke pembuluh darah sehingga cepat mempengaruhi sistem syaraf otonom (sebagai zat kolinergik)  yaitu terjadi peningkatan sekresi air liur pada mencit.
Pada mencit ke 2, diberikan uretan ip pada menit ke 0 dan atropin secara subkutan pada menit ke 15 setelah itu diberikan pilokarpin secara subkutan pada menit ke 45. Efek  yang ditimbulkan pada 10 menit pertama setelah pemberian pilocarpin mencit yang ke II ini tidak mengeluarkan saliva sama. Namun , pada menit ke 15, mencit mengeluarkan saliva dengan  diameter sebesar 0,9 cm. Pada menit ke 20, diameter saliva sebesar 1 cm dan pada menit ke 25, diameter saliva sebesar 1,7 cm. Hal ini juga tidak sesuai dengan literature. Kelompok mencit ini adalah kelompok yang paling banyak mengeluarkan saliva. Seharusnya dengan pemberian atropin secara subkutan membuat efek atropin sebagai obat antikolinergik lebih cepat karena langsung masuk ke pembuluh darah, tidak seperti proses pemberian atropin secara peroral pada mencit I. Karena efek dari atropin yang lebih kuat, seharusnya membuat sekresi air liur lebih sedikit meskipun telah ditambahkan pilokarpin yang merangsang sekresi saliva.
Pada mencit ke 3, diberikan uretan ip. dan pilokarpin pada menit ke 45 secara subkutan. Pada menit ke 20, kertas saring tetap berwarna putih yang menunjukan bahwa mencit tidak mengeluarkan saliva sama sekali. Hal ini tidak sesuai dengan literature. Pemberian pilokarpin secara subkutan membuat absorpsinya lebih cepat karena banyak terdapat pembuluh darah di otot dan pada kelompok ini tidak diberikan obat penginhibisi sekresi saliva. Oleh karena itu, seharusnya kelompok mencit ini yang paling banyak mengeluarkan saliva.
Dari hasil percobaan dibuat suatu data seperti yang tertera di atas dan terjadi ketidakseragaman data pada tiap kelompok percobaan disebabkan oleh perbedan keterampilan praktikan dalam hal teknis pelaksanaan. Hal ini menyebabkan data tersebut memiliki presisi /ketelitian yang kurang baik sehingga menunjukkan terjadinya kesalahan acak yang disebabkan oleh praktikan.
Secara teknis penyerapan zat aktif melalui cara subkutan seharusnya lebih cepat dan baik karena tidak harus melalui sistem metabolisme tubuh seperti halnya pada cara pemberian peroral. Konsentrasi obat menjadi tidak tepat jika mengalami metabolisme terlebih dahulu karena sebagian ada yang disimpan didepo jaringan, sebagian lagi diekskresikan. Dengan demikian pemberian obat secara subkutan seharusnya memiliki efek yang lebih baik daripada peroral. Pada pemberian rute peroral obat mengalami proses adsorpsi, distribusi, metabolisme yang membutuhkan waktu. Sedangkan pemberian subkutan tidak membutuhkan waktu yang sama dengan peroral, dan apabila waktu pemberian obat dibedakan seperti dalam percobaan diatas, maka hasilnya pun tak akan jauh berbeda. Selain itu, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut diantaranya kesalahan praktikan dalam penyutikan atau kondisi hewan percobaan yang kurang baik.
Kesalahan dalam penyuntikan dapat menyebabkan ketidaktepatan distribusi zat aktif sehingga tidak memberikan efek farmakologis yang diinginkan. Kesalahan memasukan obat secara oral pun dapat menjadi faktor ketidaksesuaian hasil percobaan dengan literatur. Demikian pula dalam pemilihan hewan percobaan. Mencit yang digunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian ini haruslah dipilih dengan seksama. Pemilihan ini didasarkan pada penampilan fisik , keaktifan pergerakan dan berat badan. Faktor ini mungkin perlu diperhatikan selain daripada menitikberatkan pada praktikan.
Persen inhibisi peroral (P.O) yang didapat dari percobaan adalah 83, 49% lebih besar dari persen inhibisi subkutan (S.C) yaitu 41,51 %. Perbedaan persen inhibisi peroral dengan subkutan berbeda mungkin dikarenakan oleh salahnya penyuntikan, penyondean oral ataupun yang telah disebutkan diatas, yaitu perbedaan waktu pemberiaan.
Setelah dilakukan perhitungan % inhibisi maka perhitungan diplotkan dalam grafik batang dan garis. Dari grafik pertama (grafik batang) dapat disimpulkan bahwa penggunaan atropin secara per oral lebih efektif dibandingkan dengan pemberian atropin secara sub kutan.  Dari grafik kedua (grafik garis) dapat disimpulkan bahwa penggunaan atropin secara per oral dapat membuat efek yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan atropin secara sub kutan. Kelompok kontrol tentu memiliki efek yang paling rendah, karena pada pengujian kelompok kontrol hewan percobaan tidak diberikan obat.





IX.       KESIMPULAN
1.    Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Atropin digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang memiliki aktivitas menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin digunakan sebagai obat parasimpatomimetik (kolinergik) yang memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.
2.    Suatu tekhnik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neuroefektor parasimpatikus adalah dengan cara menghitung % inhibisi. Persen inhibisi kelompok uji I sebesar 83, 49% dan persen inhibisi kelompok uji II sebesar 41, 51%


DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Dwi.2010.Obat Kolinergik&Antikolinergik.Available Online at http://www.scribd.com/doc/44889033/Obat-Kolinergik-Antikolinergik. Diakses pada tanggal [01-04-2011]
Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11th edition. Elsevier Inc. Philadelphia.
Haritsah, S. 2011. Tinjauan Pustaka Obat Adrenergik. Available online at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26908/4/Chapter%20II.pdf [diakses tanggal 1 April 2012]
Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Regar, E. 2010. Sistem Saraf Otonom. Available online at http://www.scribd.com/doc/31853749/Sistem-Saraf-Otonom [diakses tanggal 1 April 2012]
Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Yeni.2011.Makalahnya Antikolinergik.Available Online at www.scribd.com/doc/53605319/makalahnya-antikolinergik. Diakses pada tanggal [01-04-2011]

Comments

Popular Posts